Minggu, 10 Mei 2009

KADO DARI LANGIT

TANGISAN LANGIT

Gerimis senja ini jatuh bersamaan dengan butiran air mata jernih di pipi seorang gadis, Ayu. Dua pasang kaki berjalan pelan di sela kerumunan orang yang sibuk berlarian. Awan mendung di angkasa sana seperti tak kuasa menahan kesedihannya. Tangisan langit, begitu Ayu menyebutnya. Sakit yang sedari tadi berusaha dibendung memuncah keluar. Masih lekat dalam ingatan Ayu kata-kata yang keluar dari bibir bu Sri yang sekarang sudah bukan majikannya lagi.
“Sebagai seorang wanita, saya rasa kamu bisa memahami kenapa saya mengambil keputusan ini tanpa sepengetahuan mas Diki. Jadi…, sebelum semuanya terjadi lebih jauh lagi saya harap kamu dengan Aeni mau meninggalkan rumah ini.”
“Tidak usah khawatir, saya sudah mencari rumah baru untukmu dan Aeni, teman saya yang memberi tahu. Jika kamu setuju kamu akan tinggal bersamanya seperti kamu tinggal bersama kami. Majikan barumu itu bernama pak Ratmana. Umurnya sudah enam puluh tahun seorang duda beranak satu jadi kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi, yah semoga! Dan satu hal yang perlu kamu ingat baik-baik Ayu, saya melakukan semua ini demi keutuhan keluarga saya.”
Gundah. hal itulah yang terus dirasakan Ayu. Menanti saat-saat bertemu dengan majikan barunya. Ia takut Pak Ratmana tidak seperti keluarga bu Sri yang mau menerima Ayu dan Aeni dengan hangat. Mungkin jika bu Sri tidak mencurigai pak Diki menyukai dirinya, Ayu masih bisa tetap mengabdikan hidupnya bersama mereka.
“Kak, kita mau kemana? Kenapa gak berteduh seperti mereka?” wajah polos Aeni membuat Ayu tersenyum dan berusaha tegar.
“Aeni, Aeni mau janjikan sama kakak?” Ayu memegang pundak Aeni dengan erat.
“Janji apa kak?”
“Jika aeni sudah besar, Aeni jangan mau jadi pembantu seperti kakak. Apapun yang terjadi Aeni harus mengejar cita-cita Aeni. Aeni punya impian kan?”
Aeni mengangguk keras dan mengaitkan kelingking sebagai tanda janjinya. Gerimis pun berubah menjadi guyuran hujan yang semakin deras membuat kakak beradik itu segera melepaskan kaitan kelingking mereka dan berteduh seperti orang-orang.
~*~
“Kamu pasti heran, kenapa lelaki tua sepertiku mempunyai seorang anak yang masih berusia sepuluh tahun. Iya kan?” dengan mata menerawang pak Ratmana bertanya pada Ayu yang baru saja meletakkan teh di mejanya.
Pagi ini pun masih sama, perlahan Ayu mulai terbiasa dengan kebiasaan pak Ratmana dari mulai bangun tidur sampai kembali terlelap. Ini waktunya pak Ratman begitu orang tua itu biasa di sapa minum teh, setelah Gisti dan Aeni berangkat ke sekolah. Ayu begitu terkejut dengan pertanyaan pak Ratman yang memang seperti sudah mengetahui apa yang telah lama ingin ia tanyakan .
“Saya baru seminggu kerja disini, rasanya tidak pantas untuk punya pikiran seperti itu.” Ayu berusaha menunduk, menutupi perasaannya.
“Hahaha.. bukankah pembantu juga manusia? Sudahlah, akan ku jawab hingga kamu berani menanyakannya sendiri.” Pak Ratmana mulai menyeruput teh manisnya. Ayu hanya bisa mengulum senyum.
Di kepingan lain dalam hati Ayu, gadis itu merasa sangat beruntung sejak ia pindah bersama Aeni ke kota ini, karena longsor yang telah melanda desanya juga telah meninggalkan duka yang begitu dalam bagi Ayu dan Aeni karena harus di tinggal pergi kedua orang tua mereka. Aeni masih bisa merasakan hangatnya kasih Ilahi, sebagai seorang pembantu dirinya amat bahagia ketika para majikannya begitu menerimanya dengan baik. Pak Ratman adalah orang kedua yang menerima Ayu sebagai pembantu setelah bu Sri. Seperti halnya keluarga bu Sri, pak Ratman juga mengizinkan Aeni sekolah. Yang berbeda ialah, sekarang Aeni tidak berangkat sendiri, Aeni di temani Gisti putri semata wayang pak Ratman.
Hubungan Gisti dan Aeni pun sangat baik. Gisti bahkan memanggil Aeni yang hanya berbeda satu tahun dengannya dengan sebutan kakak. Sedangkan kepada Ayu, Gisti memanggil mbak. Sudah seminggu berlalu mereka begitu akrab tanpa pernah ada pertengkaran layaknya anak seumuran mereka.
~*~
Embun pagi yang membuat damai akan tersapu angin setelah datangnya terik mentari. Tapi kebahagiaan tidak akan pernah hilang dari pemiliknya, tidak perlu dicari ke setiap celah dunia. Kebahagiaan hanya perlu dirasakan dalam hatimu…
Kalimat itu terngiang kembali, kalimat yang diucapkan ibunda Ayu dan Aeni ketika Aeni berulang tahun yang kesepuluh. Tepat setahun yang lalu. Kalimat yang membuat Ayu bertahan hingga kini.
“Kak, Aeni boleh minta sesuatu nggak, di hari ulang tahun Aeni?” ragu-ragu gadis yang genap berusia sebelas belas tahun itu bertanya pada Ayu, setelah mereka selesai shalat shubuh dan memanjatkan rasa syukur kepada zat yang Maha Kasih, dikamar berukuran 4x4 meter itu.
“Memangnya Aeni ingin hadiah apa?” sambil tersenyum Ayu mengusap rambut Aeni yang baru terlepas dari mukenanya.
“Aeni…Aeni.. ingin.. hmm”
“Ayo katakakan saja, Insya Allah kakak akan kasih untuk Aeni.”
“Tapi kakak jangan marah yah, sama Aeni”
“Sebenarnya Aeni ingin apa sih?, jangan bikin kakak penasaran dong. Terus kenapa juga kakak mesti marah.?”
“Karena kakak nggak mungkin bisa kasih hadiah ini buat Aeni. Karena Aeni ingin boneka beruang seperti yang Gisti punya.” Kejar Aeni, dengan nada cemas.
“Boneka beruang? Kalau hanya itu kan kakak bisa carikan untuk Aeni.”
“Bukan! Aeni ingin boneka beruang punya Gisti kak, Cuma punya Gisti.” Rengek Aeni setengah berteriak. Baru kali ini Aeni memelas seperti itu. Hal yang hampir tidak pernah Aeni lakukan bahkan ketika ibu dan bapaknya masih ada.
“Aeni! Kamu tidak boleh seperti itu, kalau boneka yang seperti Gisti punya kakak bisa carikan di toko.” Ayu berusaha menenangkan Aeni yang sudah berkaca-kaca.
“Soalnya..boneka beruang Gisti mengingatkan Aeni dengan boneka yang pernah ibu kasih buat Aeni, sekarang boneka itu udah tertimbun longsor. Tiap Aeni mainin boneka beruang Gisti, Aeni jadi inget ibu kak, Aeni kangen sama ibu, bapak, rumah.” Air mata Aeni mulai mengalir melewati garis-garis sendu hatinya.
“Ssst. Aeni jangan nangis, Aeni harus jadi anak baik, supaya do’a Aeni buat ibu dan bapak di terima sama Allah.” Pelukan Ayu mendarat di tubuh Aeni begitupun tangisannya. Tangisan sang langit, mendung..hujan.
Mentari pagi ini telah menghapus kerinduan Ayu terlebih Aeni dengan keluarga mereka. Suasana di meja makan yang selalu hangat di pagi hari, membuat Aeni berusaha menutupi sembab di wajahnya, sementara Ayu berusaha tegar.
“Gisti bilang hari ini, hari ulang tahunnya Aeni yah?” dengan senyumnya yang ramah pak Ratman bertanya pada Aeni.
“…” Aeni tersenyum kemudian tertunduk.dalam.
“Ini dari pak Ratman untuk Aeni” seru pak Ratman sembari menyodorkan bungkusan berukuran kecil dengan kertas warna kuning yang menutupinya dengan rapi. “Ayo ambil!”
“T..te.rima kasih”
“Gisti juga punya hadiah buat kak Aeni” Gisti mengeluarkan kotakyang berukuran lebih besar berwarna senada dengan kado dari pak Ratman yang sedari tadi di sembunyikannya. Ayu hanya bisa memandangi kajadian di meja makan itu dengan mata berkaca-kaca. Dirinya sangat merasa bersalah pada Aeni, sebagai seorang kakak ia tidak memberikan hadiah apa pun untuk Aeni. Sementara pak Ratman, Gisti .. bahkan tahu warna kesukaan Aeni.
“Terima kasih.. Gisti, pak Ratman, Aeni senang sekali!” Aeni berusaha menampakan kebahagiaannya.
“Sudah saya bilang berapa kali, Aeni juga Ayu cukup memanggil saya bapak. Tidak lebih.” Pak Ratman kembali mengingatkan Aeni, tapi selama ini Ayu dan Aeni tidak bisa menurutinya karena merasa kurang pantas dengan panggilan tersebut.
“Sudah waktunya berangkat sekolah, Gisti, Aeni ayo habiskan sarapannya nanti kalian bisa terlambat.” Ayu berusaha megingatkan sekaligus mengalihkan pembicaraan.
“Kadonya biar nanti dibuka pulang sekolah saja.” Ayu menghentikkan tangan Aeni yang mencoba membuka lipatan kertas kotak-kotak itu.
~*~
“Kak… kak Ayu lihat kado dari Gisti!” Aeni girang meraih tangan Ayu yang sedang melipat pakaian. “ Ayo kak lihat!”
“Kakak sedang bekerja Aeni, nanti saja kalau sudah selesai” Ayu masih terus melipat baju , mengacuhkan tangan Aeni.
“Tapi kak, Cuma sebentar kok. Kak Ayu!” semakin lama Ayu menyerah mendengar rengekan Aeni dan mengikutinya menuju kamar.
Ayu benar-benar terkejut setelah melihat apa yang Aeni tunjukan, kado dari Gisti ternyata boneka beruang yang Aeni inginkan. Syukurlah Ayu jadi tidak perlu susah payah mencari boneka yang serupa dengan milik Gisti. Tapi kenapa, sebegitu kuatkah ikatan batin antara Aeni dengan Gisti sehingga Gisti mengetahui apa yang Aeni inginkan dihari ulang tahunnya.ataukah Aeni yang memberitahu Gisti. Pertanyaan itu terus muncul dalam benak Ayu dibalik kegirangan Aeni, Ayu merasa cemas. Tapi hanya jawaban dari sang Maha Bijaksana lah yang mampu menentramkan jiwa Ayu. Sejatinya semua ini memang sudah di takdirkan. Lau kado dari Pak Ratman, Aeni mendapat sebuah jam tangan berwarna kuning, cerah. Manis sekali dipakai di tangan mungil Aeni. Ayu menjadi terharu karena ia hanya bisa memberikan selaksa do’a untuk Aeni.
“Aeni sudah tanya Gisti kenapa boneka beruangnya di hadiahkan untuk Aeni?” pertanyaan itu meluncur begitu saja ketika Aeni terus bermain-main dengan boneka beruangnya.
“…” Aeni hanya menggeleng tanpa memalingkan pandangan dari boneka itu.
“Sebaiknya Aeni…” kalimat ayu terpotong oleh suara ketukan pintu kamar yang memisahkan mereka dengan dapur.
“ Pak Ratman? ..maaf saya meninggalkan pekerjaan saya. Hmm setelah ini saya akan menyelesaikannya.” Ayu mengira Pak Ratman datang unuk memarahinya karena sudah melalaikan tugas.
“Bukan.. bukan itu. Saya hanya ingin menanyakan sesuatu pada kalian berdua.” Pak Ratman berusaha menjelaskan maksudnya.
“Kami? “ Ayu melirik Aeni sebentar yang sedang memperhatikan nya lalu kembali bertanya ”memangnya apa yang ingin bapak tanyakan?”
“ Ah, tidak enak bicara disini mari kita ke ruang tengah.” Pak Ratman beranjak dari pintu kamar diikuti Ayu dan Aeni.
Di ruang tengah, Gisti terlihat sedang menangis tersedu-sedu sambil menenggelamkan pandangannya di hadapan sebuah foto. Pak Ratman mempersilahkan Ayu dan Aeni yang sedang terheran-heran duduk bersama mereka. Aeni masih memegang boneka beruangnya,erat. Sepertinya Aeni sama sekali tidak mau berpisah dengan boneka yang baru saja ia dapatkan dari Gisti tersebut.
“kalian pasti heran mengapa Gisti nampak begitu sedih bukan?” Pak Ratman mengusap-ngusap kepala Gisti yang masih tak berpaling dari foto ibunya. Juga dengan tangis yang semakin menjadi. “Sebenarnya Gisti baru saja kehilangan boneka kesayangannya, boneka itu satu-satunya peninggalan istri saya untuk Gisti, sebelum ia meninggal.”
Walau belum begitu jelas Ayu sudah merasakan kecemasan Aeni, ia nampak berusaha dengan sekuat tenaga meremas, menutupi bonekanya.
“Lantas, apa yang ingin bapak tanyakan pada kami?” Ayu menjadi semakin cemas. Mendengar tangisan Gisti.
“Begini, bapak hanya ingin tanya, apa kalian ketika membereskan rumah pernah melihat boneka itu?, saya sudah mencarinya kesekeliling kamar Gisti tapi tidak berhasil.”
“saya masih belum mengerti boneka seperti apa yang..” kalimat Ayu tergantung oleh jeritan Gisti yang sangat tiba-tiba menyambar boneka dalam dekapan Aeni. Aeni tidak mampu menahannya.
“ Ini Ayah, ini boneka Gisti.. ini boneka Gisti.” Gisti mengusap air matanya. Sikapnya itu bagaikan meminta keadilan dari sang ayah.
Bak disambar petir Ayu amat terkejut melihat reaksi Gisti. “ Aeni! Sebenarnya apa yang terjadi? Boneka itu hadiah dari Gisti kan?” Ayu menggoyang-goyang kan pundak Aeni yang masih tertegun. Takut.
Ketegangan pun semakin menjadi ketika Gisti terus berkata pencuri, pencuri, dan pencuri pada Aeni. Pak Ratmana lekas bertindak, beliau meminta penjelasan dari Aeni yang sedari tadi hanya diam berlindung di balik tubuh Ayu.pak Ratman pun menjadi yakin dengan sikap Aeni.
“ Aeni, jujurlah. Saya tidak akan menghukummu. Apa benar kamu yang mengambil boneka Gisti.?” Pak Ratman masih berusaha bersabar, sementara Gisti terus mendesaknya.
Ayu berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi mengenai boneka itu kenapa bisa sampai ketangan Aeni. Tapi justru orang yang dapat menguatkan pernyataan Ayu adalah Gisti, yang sudah jelas mengelak hal tersebut.
~*~
Kali ini pun sama, rintik hujan membasahi kaki-kaki yang melangkah gontai di bawah naungan awan sendu. Takdir Ilahi, terkadang memang berat dijalani. Hanya keimanan yang membumbung dihati mampu mengusir rasa pedih itu. Gadis itu tiba-tiba meraba sakunya ingin melihat apakah gaji terakhirnya dari pak Ratman cukup menghidupinya juga Aeni selama belum mendapat pekerjaan.
Secarik kertas terlipat dibalik amplop berisi lembar-lembar uang. Ayu heran, dan lekas membuka isinya:

Untuk mbak Ayu dan kak Aeni
Sore itu ayah bilang akan ada pembantu baru. Gisti senang, karena mbok Min yang dulu jadi pembantu dirumah tidak kembali setelah pulang kampung. Ternyata mbak Ayu dan kak Aenilah yang menggantikan mbok Min.
Awalnya Gisti bahagia bisa berteman dengan kak Aeni, Gisti tidak kesepian lagi. Mbak Ayu juga, membuat Gisti senang karena baik sekali sama Gisti seperti seorang ibu dengan kasih dan sayang yang mbak Ayu berikan.
Tapi … semuanya berubah setelah Gisti tahu kalau ayah sudah mengganggap kak Aeni dan mbak Ayu sebagai anak. Gisti takut. Kasih sayang ayah akan terbagi. Ayah akan lebih menyayangi kak Aeni karena kak Aeni terlalu baik, kak Aeni selalu mendapat nilai bagus di sekolah. Gisti juga takut kalau ayah akan menikahi Mbak Ayu dan melupakan ibu Gisti.
Karena alasan itulah Gisti melakukan semuanya. Gisti membuat ayah mengusir kalian.
Maafin Gisti! Gisti sayang kalian.
Dari Gisti Ayunda.